Kumpulan Contoh
Materi Kultum Tema Bahaya Rumor/Ghibah Bag 1
Kumpulan Contoh Materi Kultum Tema Bahaya Rumor/Ghibah Bag 1 Pengertian Ghibah; Islam merupakan agama sempurna
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada umat Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam. Kesempurnaan Islam ini menunjukkan bahwa syariat
yang dibawa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu adalah rahmatal
lil’alamin. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhabarkan di dalam
firman-Nya (artinya): “Tidaklah Aku mengutusmu melainkan sebagai rahmatal
lil’alamin.” (Al Anbiya’: 107) Diantara wujud kesempurnaan agama Islam sebagai
rahmatal lil’alamin, adalah Islam benar-benar agama yang dapat menjaga, memelihara
dan menjunjung tinggi kehormatan, harga diri, harkat dan martabat manusia
secara adil dan sempurna. Kehormatan dan harga diri merupakan perkara yang
prinsipil bagi setiap manusia. Setiap orang pasti berusaha
untuk menjaga dan mengangkat harkat dan martabatnya. Ia tidak rela untuk
disingkap aib-aibnya atau pun dibeberkan kejelekannya. Karena hal ini dapat
menjatuhkan dan merusak harkat dan martabatnya di hadapan orang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Setiap muslim terhadap muslim lainnya
diharamkan darahnya, kehormatannya, dan juga hartanya.” (H.R Muslim no. 2564)
Kunjungi juga materi kultum yang lain:
Kultum tema menggapai keberkahan hidup
Kultum Tema Akhlak Mulia
Hadits di atas menjelaskan
tentang eratnya hubungan persaudaraan dan kasih sayang sesama muslim. Bahwa
setiap muslim diharamkan menumpahkan darah (membunuh) dan merampas harta
saudaranya seiman. Demikian pula setiap muslim diharamkan melakukan perbuatan
yang dapat menjatuhkan, meremehkan, atau pun merusak kehormatan saudaranya
seiman. Karena tidak ada seorang pun yang sempurna dan ma’shum (terjaga dari
kesalahan) kecuali para Nabi dan Rasul. Sebaliknya
selain para Nabi dan Rasul termasuk kita tidak lepas dari kekurangan dan
kelemahan. Suatu fenomena yang lumrah terjadi di masyarakat kita dan cenderung
disepelekan, padahal akibatnya cukup besar dan membahayakan, yaitu ghibah
(menggunjing). Karena dengan perbuatan ini akan tersingkap dan tersebar aib
seseorang, yang akan menjatuhkan dan merusak harkat dan martabatnya. Tahukah anda apa itu ghibah?
Sesungguhnya kata ini tidak asing lagi bagi kita. Ghibah ini erat kaitannya
dengan perbuatan lisan, sehingga sering terjadi dan terkadang di luar
kesadaran. Ghibah adalah menyebutkan,
membuka, dan membongkar aib saudaranya dengan maksud jelek. Al Imam Muslim
meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apakah
kalian mengetahui apa itu ghibah? Para shahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya
yang lebih tahu.” Kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada
saudaramu yang dia membecinya, jika yang engkau sebutkan tadi benar-benar ada
pada saudaramu sungguh engkau telah berbuat ghibah, sedangkan jika itu tidak
benar maka engkau telah membuat kedustaan atasnya.”
Di dalam Al Qur’anul Karim
Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela perbuatan ghibah, sebagaimana
firman-Nya (artinya): “Dan
janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian
kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang lainnya. Apakah kalian suka
salah seorang diantara kalian memakan daging saudaramu yang sudah mati? Maka
tentulah kalian membencinya. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih.” (Al Hujurat: 12)
Al Imam Ibnu Katsir Asy
Syafi’i berkata dalam tafsirnya: “Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa
hadits) tentang ghibah dalam konteks celaan yang menghinakan. Oleh karena itu
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan orang yang berbuat ghibah seperti orang
yang memakan bangkai saudaranya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala …
(pada ayat di atas). Tentunya itu perkara yang kalian benci dalam tabi’at,
demikian pula hal itu dibenci dalam syari’at. Sesungguhnya ancamannya lebih
dahsyat dari permisalan itu, karena ayat ini sebagai peringatan agar menjauh/lari
(dari perbuatan yang kotor ini -pent). ” (Lihat Mishbahul Munir)
1. Menggambarkan keburukan bentuk tubuh seseorang
Suatu hari Aisyah radhiyallahu’anha
pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tentang Shafiyyah
bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka beliau Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda: “Sungguh engkau telah berkata dengan suatu kalimat yang kalau
seandainya dicampur dengan air laut niscaya akan merubah air laut itu.” (H.R.
Abu Dawud 4875 dan lainnya)
Asy Syaikh Salim bin Ied Al
Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk
dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari
perbuatan tersebut.” (Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin 3/25)
2. Membicarakan keburukan orang lain
Dari shahabat Anas bin Malik
radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya
dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku
bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril
menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan
merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya). Yang dimaksud
dengan ‘memakan daging-daging manusia’ dalam hadits ini adalah berbuat ghibah
(menggunjing), sebagaimana permisalan pada surat Al Hujurat ayat: 12.
Dari shahabat Ibnu Umar
radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Wahai
sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya,
janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya,
janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib
saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang
Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam
rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
Dari shahabat Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa
ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.”
(H.R. Ahmad 3/351)
Dari shahabat Sa’id bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya termasuk riba yang paling besar
(dalam riwayat lain: termasuk dari sebesar besarnya dosa besar) adalah
memperpanjang dalam membeberkan aib saudaranya muslim tanpa alasan yang benar.”
(H.R. Abu Dawud no. 4866-4967)
Dari ancaman yang terkandung
dalam ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan ghibah ini
termasuk perbuatan dosa besar, yang seharusnya setiap muslim untuk selalu
berusaha menghindar dan menjauh dari perbuatan tersebut.
Asy Syaikh Al Qahthani dalam
kitab Nuniyyah hal. 39 berkata:
Janganlah kamu tersibukkan
dengan aib orang lain, justru kamu lalai
Dengan aib yang ada pada
dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban
(Lihat Nashihati linnisaa’
hal. 32)
3. Membicarakan sesuatu yang tidak disukai saudaranya
Konteks dalam hadits: “Engkau
menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang dia membecinya.” Hadits di tersebut
secara zhahir mengandung makna yang umum, yaitu mencakup penyebutan aib
dihadapan orang tersebut atau diluar sepengetahuannya. Namun Al Hafizh Ibnu
Hajar menguatkan bahwa ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya, sebagaimana
asal kata ghibah (yaitu dari kata ghaib yang artinya tersembunyi-pent) yang
ditegaskan oleh ahli bahasa. Kemudia Al Hafizh berkata: “Tentunya membeberkan
aib di hadapannya itu merupakan perbuatan yang haram, tapi hal itu termasuk
perbuatan mencela dan menghina.” (Fathul Bari 10/470 dan Subulus Salam hadits
no. 1583, lihat Nashihati linnisaa’ hal. 29)
4. Mendengar pembicaraan ghibah tapi tidak
melarangnya
Demikian pula bagi siapa yang
mendengar dan ridha dengan perbuatan ghibah maka hal tersebut juga dilarang.
Semestinya dia tidak ridha melihat saudaranya dibeberkan aibnya. Dari shahabat
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
“Barang
siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah
wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzi no. 1931
dan lainnya)
Demikian juga semestinya ia
tidak ridha melihat saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan yaitu berbuat ghibah.
Semestinya ia menasehatinya, bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut.
Kalau sekiranya ia tidak mampu menasehati atau mencegahnya dengan cara yang
baik, maka hendaknya ia pergi dan menghindar darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman (artinya):“Dan
orang-orang yang beriman itu bila¬ mendengar perkataan yang tidak bermanfaat,
mereka berpaling darinya, dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan
bagimu amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul
dengan orang-orang jahil.” (Al Qashash: 55)
Dari shahabat Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda: “Barang
siapa yang melihat kemungkaran hendaknya dia mengingkarinya dengan tangan. Bila
ia tidak mampu maka cegahlah dengan lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah
dengan hatinya, yang demikian ini selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun ‘alaihi) Namun bila ia ikut larut dalam
perbuatan ghibah ini berarti ia pun ridha terhadap kemaksiatan, tentunya hal
ini pun dilarang dalam agama.
Bertaubat dari Ghibah
Lalu bagaimana cara bertaubat
dari perbuatan ghibah? Apakah wajib baginya untuk memberi tahu kepada yang
dighibahi? Sebagian para ulama’ berpendapat wajib baginya untuk memberi tahu
kepadanya dan meminta ma’af darinya. Pendapat ini ada sisi benarnya jika dikaitkan
dengan hak seorang manusia. Misalnya mengambil harta orang lain tanpa alasan
yang benar maka dia pun wajib mengembalikannya.
Tetapi dari sisi lain, justru
bila ia memberi tahu kepada yang dighibahi dikhawatirkan akan terjadi mudharat
yang lebih besar. Bisa jadi orang yang dighibahi itu justru marah yang bisa
meruncing pada percekcokan dan bahkan perkelahian. Oleh karena itu sebagian
para ulama lainnya berpendapat tidak perlu ia memberi tahukan kepada yang
dighibahi tapi wajib baginya beristighfar (memohan ampunan) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dighibahi itu
di tempat-tempat yang pernah ia berbuat ghibah kepadanya. Insyaallah pendapat
terakhir lebih mendekati kebenaran. (Lihat Nashiihatii linnisaa’: 31)