Kumpulan Contoh Materi Kultum Kehidupan Jahiliyah Bag.2


Kumpulan Contoh Materi Kultum Kehidupan Jahiliyah Bag.2
Kumpulan Contoh Materi Kultum Kehidupan Jahiliyah Bag.2 Tasyabbuh (menyerupai suatu kaum), Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabdayang  Artinya: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan). Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti mereka. Lalu dalam hal apakah tasyabbuh itu?Al-Munawi berkata: “Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/ berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka”.
Satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian Muslimah. Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana Muslimah telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahiliyah. Hanya saja masih sering kita menjumpai busana Muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang dikehendaki syari’at. Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat sebagai ciri pakaian jahiliyah. Adapun yang lebih memprihatinkan lagi adalah busana wanita kita pada umumnya, yang mayoritas beragama Islam ini, nyaris tak kita jumpai mode pakaian umum tersebut yang tidak mengekspose aurat. Kalau tidak memper-tontonkan aurat karena terbuka, maka ekspose itu dengan menonjolkan keketatan pakaian. Bahkan malah ada yang lengkap dengan dua bentuk itu; mempertontonkan dan menonjolkan aurat. Belum lagi kejahilan ini secara otomatis dilengkapi dengan tingkah laku yang -kata mereka- selaras dengan mode pakaian itu. Na’udzubillahi min dzalik.

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda:   "Dua golongan ahli Neraka yang aku belum melihat mereka (di masaku ini) yaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuk itu. (Yang kedua ialah) kaum wanita yang berpakaian (tapi kenyataan-nya) telanjang (karena mengekspose aurat), jalannya berlenggak-lenggok (berpenampilan menggoda), kepala mereka seolah-olah punuk unta yang bergoyang. Mereka itu tak akan masuk Surga bahkan tak mendapatkan baunya, padahal baunya Surga itu tercium dari jarak sedemikian jauh”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah z, shahih).  Jika tasyabbuh dari aspek busana wanita saja sudah sangat memporak-porandakan kepribadian umat, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam. Sebab di luar sana sudah nyaris seluruh aspek kehidupan umat bertasyabbuh kepada orang-orang kafir yang jelas-jelas bergaya hidup jahili.

Pengertian Jahiliyah: Masa Sebelum Islam
Masa Jahiliyah adalah era ketika kondisi dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah Islam. Periode ini sering juga disebut dengan istilah Pra-Islam. Seiring dengan perkembangan dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat orang-orang yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Kebiasaan-kebiasaan kaum jahiliyah yang realitasnya berseberangan dengan anjuran Rasulullah s.a.w tersebut disebabkan oleh sifat keras kepala, apriori dan ta’assub (fanatik yang berlebihan) terhadap peninggalan dan tradisi para leluhur yang mengental rekat dalam ritual yang selalu disakralkan.

Seperti kebiasaan dahulu orang-orang jahiliyah yang mengitari ka’bah dengan bertelanjang tanpa busana, akhirnya terwarisi dengan kebiasaan generasi berikutnya yang tidak malu mempertontonkan auratnya di depan publik, sehingga hal seperti itu dianggap lumrah bahkan dianggap sebagai modernisasi.

Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab dalam Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa agama mereka (orang-orang jahiliyah) terbangun oleh beberapa pondasi yang menjadi akar dan pijakan. Yang terbesar diantaranya ialah “TAQLID”, yaitu sebuah sistim yang besar yang selalu menjadi tumpuan semua orang-orang kafir, sedari dahulu kala hingga akhir zaman. Sebagaimana Allah SWT berfirman di berbagai ayat di dalam Al-Qur’an:
Wa kadzaalika maa arsalna min qablika fi qaryatin min nadziirin illaa qaala mutrafuuha innaa wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin wa innaa ‘ala aatsaarihim muqtaduun”;
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesunguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”(QS.Az-Zukhruf:23).
Wa idzaa qiila lahumuttabi’uu maa anzalallahu, qaaluu bal nattabi’u maa wajadnaa ‘alaihi aabaa’ana, awalaw kaanasy-syaythaanu yad’uuhum ilaa ‘adzaabis-sa’iir”;
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaithan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?(QS.Luqman:21).
Ittabi’uu maa unzila ilaikum min rabbikum walaa tattabi’uu min duunihi awliyaa’a. Qaliilan maa tadzakkaruun”:
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya (pemimpin yang membawa kepada kesesatan). Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)” (QS.Al-A’raf:3).

Syeikh DR.Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah Al-Fauzan dalam Syarhul Masaa’il Al-Jahiliyyah menjelaskan bahwa mereka (orang-orang jahiliyah) tidak menegakkan agama mereka sesuai dengan apa yang telah para Rasul sampaikan kepada mereka, sesunguhnya mereka mengkonstruksi agama mereka dengan dasar-dasar yang mereka mengada-adakannya sendiri sekehendak hati mereka, dan mereka enggan merobah diri serta beranjak dari kebiasaan itu. Perihal inilah yang dalam dunia Islam disebut sebagai “at-taqlid”, atau dalam istilah Arab juga akrab dengan sebutan “al-muhakah”, yaitu sebagian orang meniru cara-cara yang kelompok individu lain lakukan, sedangkan objek yang ditiru itu tidak sepatutnya untuk menjadi percontohan (maslahat). Sebagaimana Allah SWT berfirman:
Wakadzalika maa arsalna min qablika fi qaryatin min nadziirin illaa mutrafuuha inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”;

Kata “mutrafuuha” dalam ayat ini adalah “mereka (para penduduk) yang hidup mewah sejahtera dan bergelimang harta pada umumnya, karena mereka adalah orang-orang yang cenderung berbuat jahat, sombong, dan tiada keinginan menerima kebenaran. Berbeda halnya dengan kaum faqir dan dhuafa, yang pada umumnya bersikap tawadhu’ dan ikhlas menerima kebenaran.

Kaum yang mengagung-agungkan harta, tahta dan garis keturunan leluhurnya inilah, yang dahulu ketika para Rasul memberi peringatan dan mengajak mereka kepada jalan yang benar, mereka selalu membantah dengan ucapan” “Inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”; “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah penganut jejak-jejak mereka.” Dengan kata lain (secara tidak langsung) mereka bermaksud: Kami tidak butuh peran dan kehadiranmu wahai Rasul, kami lebih percaya dengan apa yang telah dibudayakan oleh leluhur kami. Hal inilah yang di dalam literatur Islam disebut dengan istilah “at-taqlid al-a’maa” atau dalam istilah kita: “fanatisme buta” (blind obedience), yang tergolong dalam salah satu perangai kaum jahiliyah.
Sumber:media internet